Dinar Dirham sebagai alternatif moneter dunia

I. MUQODDIMAH

Di dalam kegiatan perekonomian setidaknya terdapat bermacam – macam tujuan yang ingin di capai. Adapun tujuan tersebut meliputi, pembangunan negara, pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembagian pendapatan dan stabilisasi ekonomi, dan yang terakhir adalah adanya keadilan dalam kegiatan perekonomian tersebut.

Akan tetapi dewasa ini, lagi – lagi masalah keadilan menjadi suatu masalah yang serius karena kurangnya perhatian sistem yang ada saat ini terhadap masalah keadilan tersebut. pada akhirnya, banyak pihak dari pelaku ekonomi yang menyadari bahwa sistem yang ada saat ini tidaklah mampu memberikan hasil yang optimal. Berbagai upaya dilakukan untuk mengoptimalkan hasil akan tetapi hasilnya sia – sia. Berbagai kebijakan telah dilakukan untuk memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada, akan tetapi tetap tidak mampu mencegah berbagai krisis ekonomi yang terjadi dalam perjalanan sisitem yang berlaku pada saat ini. Bahkan krisis tersebut semakin semakin sering terjadi, dan yang terakhir yaitu krisis yang terjadi di Amerika Serikat beberapa waktu yang lalu. Dan semua ini tidak lain disebabkan karena ketidakadilan dalam perekonomian.

Selain itu, dampak daripada ketidakadilan adalah pincangnya distribusi pendapatan antar negara. Dan kecenderungannya adalah, yang kaya semakin kaya, dan yang miskin tentu akan menjadi semakin miskin. Sedangkan usaha untuk mengatasi problem tersebut lagi – lagi belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Dan akhirnya, semakin lebarlah jurang pemisah antara kedua negara tersebut.

Yang menjadi pertanyaan adalah, dari manakah sebenarnya ketidakadilan itu bermula ? seringkali negara berkembang menjadi kambing hitam dengan dalih ketidak becusannya dalam berbagai hal dalam kegiatan perekonomian, yaitu; produktivitasnya yang rendah, hingga praktek manajemennya yang tidak efektif dan efisien dan rusuh dengan merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi. Dengan kondisi tersebut, maka mereka tidak akan bisa mamaksimalkan alokasi dana dan sumber daya yang ada untuk pembangunan. Boleh dikatakan, meskipun negara berkembang tersebut dalam sehari mereka bekerja penuh 24 jam penuh, belum tentu mereka bisa mengejar ketertinggalan, dikarenakan desain sistem moneter yang menggunakan fiat money sebagai alat untuk mendapat keuntungan bagi negara yang berkuasa dan memainkan peranan ekonomi di dunia.

Berbicara mengenai keadilan, sistem moneter Islami merupakan bagian dari sistem ekonomi Islami dimana dinar memiliki peran yang signifikan dalam mewujudkan keadilan ekonomi. Di dalam kerangka menghasilkan sistem moneter yang adil, maka sistem ekonomi yang ada haruslah memenuhi beberapa persyaratan tertentu. Dan salah satu persyaratannya adalah penggunaan mata uang emas di dalam segala transaksi ekonomi termasuk dalam transksi perdagangan internasional. Karena tanpa penggunaan sistem dinar, keadilan yang akan dicapai akan kurang sempurna. Dan makalah ini akan memaparkan beberapa hal yang berkenaan dengan “ kemampuan dinar dan dirham sebagai solusi sistem moneter internasional “

II. SEJARAH UANG; BARTER, DINAR, DAN DIRHAM

Kemunculan uang saat pertama kali di dunia belum ada konsensus dari para ekonom untuk memperkirakan bagaimana uang tersebut dipergunakan. Pada masyarakat primitif istilah uang memang belum ditemukan, namun sebagai embrio akan kebutuhan yang mendesak manusiapun lambat laun menerapkan sistem barter yang perkembangannya nanti mencuat istilah uang sebagai ganti dari sistem barter. Perkembangan uang ini selanjutnya menjadi alat tukar sampai kini. Hal ini terjadi sebab pertukaran secara barter mengalami banyak kendala dibandingkan dengan uang. Kegiatan ini dapat dicermati bahwa pertukaran secara barter dapat berlangsung apabila penilaian terhadap barang yang akan dipertukarkan oleh masing-masing pemiliknya sudah sesuai baik jenis barang maupun nilai yang diinginkan. Jika salah seorang tidak menghendaki dan tidak membutuhkan terhadap barang yang akan ditukar, maka proses barter tidak dapat terjadi.

Sebelum pemikiran penggunaan uang yang dipakai secara umum oleh masyarakat, orang telah banyak mempergunakan benda jenis logam[1]sebagai alat tukar. Lagi-lagi sebab berat dan merasa kesulitan untuk membawa alat tukar yang terbuat dari logam, orang mulai memikirkan pembuatan alat tukar dari logam yang lebih praktis. Inilah cikal bakal adanya uang logam. Demikian halnya dengan cikal bakal uang kertas, pada zaman dahulu para pedagang yang menyimpan emas (dinar) di bank menerima surat tanda penitipan emas dari bank. Lambat laun surat bukti penitipan emas tersebut digunakan sebagai alat pembayaran.
Dalam lintas sejarah Islam, perdagangan merupakan dasar perekonomian di jazirah Arab sebelum Islam datang. Adapun mata uang yang dipergunakan pada waktu itu adalah dinar dari Roma
[2] dan dirham dari persia.[3] Hal ini dapat dimaklumi karena bangsa romawi dan persia merupakan mitra dagang bangsa Arab. Di samping, letak geografis daerah Arab terutama Hijaz.[4] Sehingga memberi keuntungan tersendiri bagi daerah tersebut untuk dilalui oleh rute perdagangan antara Persia dan Roma, Roma ke India serta daerah jajahannya seperti Syam (Syiria), Etiopia dan Yaman.[5] Adapun nilai satu dinar pada waktu itu sama dengan sepuluh dirham.[6] Setelah Islam datang, mata uang dinar dan dirhampun masih digunakan sebagai alat transaksi pada zaman Nabi. Bahkan pada zaman ini telah ditetapkan bahwa mata uang dinar dan dirham merupakan sebagai alat pembayaran yang sah.

Menurut Dr. Kadim as-Sadr dalam tulisannya “Money and Monetary Policise in Early Islamic Period” yang kemudian dikumpulkan oleh Baqir dan Hasan dalam buku Essay. Menjelaskan, bahwa koin dinar dan dirham ternyata memiliki kandungan emas dan perak yang tetap (fix) sehingga stabilitas nilai tukarnya stabil. Hal ini terjadi bukan hanya pada masa Rasul melainkan jauh sampai pada masa Dinasti Umayyah. Akan tetapi pada masa Umayyah juga dan Abbasiyah berat dinar dan dirham berubah demikian pula di persia.[7] Pada masa berikutnya kandungan dinar (emas) dan dirham (perak) mengalami perubahan di wilayah-wilayah kekuasaan Islam lainnya. Sehingga bisa disimpulkan dinar dan dirham meski pada awalnya dari Romawi dan Persia, Islamlah kemudian yang menorehkan pemberlakuan kedua mata uang tersebut dalam kurun waktu yang sangat lama berabad-abad hingga Dinasti Utsmani pada tahun 1924.

Standarisasi berat uang dinar dan dirham pada masa itu berpijak kepada hadist rasulullah saw, “ Timbangan adalah timbangan penduduk makkah, dan takaran adalah takaran penduduk madinah “ (HR . Abu Daud). Pada zaman khalifah Umar bin Khattab yaitu pada tahun 642 M, bersamaan dengan pencetakan uang dirham pertama kali di kekhalifahan, standar hubungan berat antara uang emas dan perak dibakukan menjadi berat 7 dinar sama dengan berat 10 dirham. Sedangkan berat 1 dinar sama dengan atau sama dengan berat 72 butir gandum ukuran sedang yang dipotong kedua ujungnya. [8]

Untuk melihat peninggalan sejarah mata uang Islam dapat dilihat ada empat koleksi peninggalan mata uang salah satu diantaranya adalah mata uang yang dicetak pada masa Kalifah Ali Ra., sedangkan tiga lainnya adalah mata uang perak yang dicetak di Damaskus dan Mervi sekitar tahun 60-70 H.[9] Sebenarnya, di zaman khalifah Umar dan Utsman Ra. mata uang juga telah dicetak mengikuti gaya dirham Persia dengan perubahan pada tulisan yang tercantum pada mata uang tersebut meskipun, diawal pemerintahan Umar Ra. pernah timbul pemikiran untuk mencetak uang dari kulit. Ide tersebut dibatalkan karena tidak disetujui para sahabat yang lain.

Mata uang khilafah Islam mempunyai ciri khusus yang dicetak pada masa Khalifah Ali ra. Namun sayang, peredarannya sangat terbatas karena kondisi politik pada saat itu. Mata uang dengan gaya persia juga ‘lagi-lagi’ di cetak pada zaman Mua`wiyyah dengan mencantumkan gambar dan pedang, Gubernur Irak, pada masa pemerintahan zaid, mencetak uang dengan mencantumkan nama khalifah. Al-hasil, modus yang dilakukan oleh Mu’awiyyah dan Ziad berupa pencantuman gambar dan nama kepala pemerintahan pada mata uang. Peninggalan tersebut kiranya masih dipertahankan sampai saat ini termasuk di indonesia dalam pembuatan uang dengan pencantuman gambar dan kepala pemerintahan. Meskipun mata uang yang beredar pada saat itu belum berbentuk bulat sepertui uang logam pada saat sekarang, baru pada masa ibn Zubair mata uang dengan bentuk bulat dicetak namun peredaranya hanya sebatas wilayah Hijaz.Terobosan unik yaitu seperti gubernur kufah yang mencetak uang dengan gaya kombinasi Persia dan Romawi. Pada tahun 72-74 H --Bishri bin Marwan-- mencetak mata uang yang disebut atawiyya. Sampai pada zaman ini mata uang khalifah beredar bersama dinar Romawi dan dirham Persia serta sedikit himyarite Yaman. Barulah pada zaman Abdul Malik (76 H) tempat percetakan dapat terorganisasi dengan kontrol pemerintah yaitu dengan didirikannya tempat percetakan di Dara’jarb, suq ahwaz, Sus, Jay, Manadar. Maysan, Ray, Abarqubadh.[10]

Dirham dan dinar memiliki nilai yang tetap karena itu tidak ada masalah dalam pertukaran uang, jika dinar dijadikan sebagai satuan nilai maka nilai dirham adalah perkalian dari dirham; dan jika diasumsikan dinar sebagai unit moneter nilainya adalah sepuluh kali dirham. Walau pun demikian, dirham lebih umum digunakan daripada dinar sebab aspek politis yaitu hampir seluruh wilayah kekaisaran persia yang mata uangnya dirham dapat dikuasai oleh angkatan perang Islam. Sementara tidak semua wilayah kekaisaran Romawi yang memiliki mata uang dinar dapat dikuasai Islam karena itu menjadi wajar kiranya bahwa mata uang dirham lebih umum di dunia perdagangan bangsa Arab saat itu.[11] Sehingga dinar dan dirham menjadi mata uang dunia yang tidak dibatasi tempat dan waktu sampai masa keemasan Islam. Dengan kata lain mata uang dinar dan dirham fix. Untuk itulah banyak pemikiran dari tokoh-tokoh muslim di dunia baik melalui Islamic Development Bank (IDB) –yang didirikan 23 April 1975-- maupun cendikiawan muslim Indonesia melalui Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebut saja Cecep Maskanul Hakim dan lain-lainnya mencoba menggulirkan dan mencanangkan mungkinkah dinar emas akan kembali dijadikan sebagai mata uang dunia?.[12]


Dinar adalah mata uang dengan nilai fisik dan nilai intrinsik yang sama, karena berdasarkan emas. Di Indonesia, dinar memang belum populer. Dinar diproduksi dan diedarkan di Indonesia sejak tahun 2001. Penggunaan koin emas dinar oleh masyarakat Indonesia masih sangat terbatas, baik dari segi fungsi maupun kuantitas penggunaan.[13] Berdasarkan standard World Isllamic Trade Organization (WITO), nilainya setara dengan 4,25 gr emas 22 karat, dengan diameter 23 mm. Bentuk dinar di seluruh dunia berbeda-beda.l Di Indonesiapun, bentuknya berbeda-beda, tergantung institusi yang mengeluarkannya. Dinar yang dikeluarkan oleh Baitulmaal Muamalat (B-Dinar) sisi mukanya bergambar Masjidil Aqsha, tulisan Baitulmaal, cahaya di atas Masjidil Aqsha, da gerigi roda.Sementara sisi bagian dalam tertulis dua kalimat syahadat.

Bentuk memang tidaklah terlalu signifikan, pada dasarnya semua lembaga jelas berhak mengeluarkan dinar asal memenuhi standar WITO kriterianya yakni harus 4,25 gr, 2 karat, berdiameter 23 mm.[14] Apalagi seandainya bila pemerintah memiliki political will menjadikan dinar sebagai mata uang, bentuknya harus sama digunakan di seluruh Indonesia setelah melalui WITO sebagai lembaga akeditasinya. Berlakunya suatu mata uang perkembangan selanjutnya (pasca dinar dan dirham) dapat dicermati dibatasi oleh tempat dan waktu tidak berlaku sepanjang masa, misalnya Rupiah hanya diterima di wilayah Indonesia, Rupe hanya diterima di wilayah India --dan banyak lagi mata uang negara lainnya-- sebagai alat pembayaran yang sah, dan tidak berlaku di wilayah lain.

III. KEUNGGULAN DINAR DAN DIRHAM

Sepanjang sejarah manusia aneka alat tukar telah digunakan, mulai dari yang paling sederhana seperti bahan makanan, kulit binatang, tembakau, logam kertas hingga manusia. Dari sekian banyak bentuk uang tersebut, emaslah yang paling banyak diminati. Hal ini karena dari sisi fisik emas memiliki keunggulan dari jenis mata lainnya, antara lain:

Pertama, emas lebih tahan lama dibandingkan komoditas lain termasuk dengan sejumlah jenis logam sendiri. Emas tidak dapat beroksidasi dengan mudah sehingga ia anti karat. Ia tetap stabil dan tahan dalam jangka waktu yang sangat panjang. Meski emas tenggelam ke dalam lautan bergaram misalnya namun ia tetap dalam bentuk aslinya dan tidak mengalami perubahan.[15] Emas yang telah diproduksi ratusan tahun silam nilainya sama dengan emas yang baru saja diproduksi. Tak heran jika emas merupakan sarana penyimpan kekayaan (store of value) yang paling baik. Bandingkan dengan komoditas lain seperti kertas meski dapat digunakan sebagai media tukar (medium of exchange) namun ia tidak dapat menyimpan kekayaan dalam waktu lama.[16]

Kedua, emas merupakan logam yang dapat dibagi-bagi (diversiblity) dalam ukuran kecil dan dapat dilebur kembali seperti semula. Dengan sifat tersebut ia dapat menjadi alat tukar yang dapat diubah menjadi sesuatu yang berguna kapan saja dengan tetap menjaga nilainya. Ia bisa menjadi perhiasan atau perkakas pada suatu hari dan dijadikan uang hari berikutnya.[17]

Ketiga, emas merupakan komoditas yang bernilai tinggi (luxury good). Komoditas tersebut memiliki nilai unit yang tinggi meski ukurannya kecil. Oleh karena itu seseorang hanya membutuhkan sedikit emas untuk melakukan transaksi barang dan jasa dalam ukuran besar. Nilai satu ounce emas misalnya setara dengan setengah ton lempeng besi.[18] Emas juga berbeda dengan mata uang kertas yang nilainya ditentukan oleh kekuatan hukum suatu negara dimana nilai intrinsiknya jauh di bawah nilai nominalnya. Nilai emas ditopang oleh fisiknya sendiri.

Keempat, emas termasuk komoditas yang dapat diterima secara luas (universally) oleh masyarakat dunia sebagai benda bernilai sekaligus dapat dijadikan sebagai alat tukar. Bandingkan misalnya dengan dolar AS, meski telah menjadi mata uang internasional, namun tetap saja ia kalah pamor dengan emas. Tidak semua orang di dunia ini mau menerima dolar sebagai alat transaksi apalagi ketika perekonomian AS mengalami ketidastabilan.

Kelima, emas bersifat langka. Ia tidak dapat diperoleh dengan mudah. Hal ini berbeda dengan uang kertas yang dengan mudah dapat diciptakan melalui mesin cetak. Apalagi dengan kecanggihan tehnologi percetakan yang terus berkembang membuat uang kertas begitu mudah untuk ditiru.[19]

Dengan keunggulan fisik tersebut tak heran jika emas dalam kurun waktu yang cukup lama baik di masa primitif maupun di masa modern telah dijadikan sebagai mata uang yang paling tangguh baik sebagai alat tukar (medium of transaction) maupun sebagai penyimpan kekayaan (store of value).

IV. KEUNGGULAN DARI SISI MONETER

Dari sisi moneter standar mata uang emas juga memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan standar mata uang kertas (fiat money), diantaranya:

Pertama, inflasi rendah dan terkendali. Dengan menerapkan mata uang emas, pemerintah suatu negara tidak dapat menambah pasokan uang dengan bebas. Akibatnya supply mata uang akan terkendali. Uang hanya bertambah seiring dengan bertambahnya cadangan emas negara. Dengan demikian inflasi yang diakibatkan oleh pertumbuhan uang sebagaimana pada sistem mata uang kertas (fiat money) tidak terjadi. Memang tak dapat dipungkiri bahwa inflasi bisa saja terjadi ketika ditemukan cadangan emas dalam jumlah besar. Namun keadaan tersebut merupakan sesuatu yang jarang terjadi dan orang yang memiliki emas tidak langsung melempar emasnya ke pasar.

Keampuhan mata uang mengendalikan inflasi telah dibuktikan oleh Jastram, (1980) seorang profesor dari University of California. Ia menyimpulkan bahwa tingkat inflasi pada standar emas (gold standard) paling rendah dari seluruh rezim moneter yang pernah diterapkan termasuk pada rezim mata uang kertas (fiat standard). Sebagai contoh dari tahun 1560 hingga 1914 indeks harga (price index) Inggris tetap konstan dimana inflasi dan deflasi nyaris tidak ada. Demikian pula tingkat harga di AS pada tahun 1930 sama dengan tingkat harga pada tahun 1800.

Kedua, di dalam rezim standar emas, nilai tukar antar negara relatif stabil sebab mata uang masing-masing negara tersebut dsandarkan pada emas yang nilainya stabil. Pertukaran antara mata uang yang dijamin oleh emas dengan mata uang kertas negara lain yang tidak dijaminan emas juga tidak menjadi masalah. Hal ini karena nilai mata uang yang dijamin emas tersebut ditentukan oleh seberapa besar mata uang kertas tadi menghargai emas. Nilai emas memang bisa naik atau turun berdasarkan permintaan dan penawaran, namun ketika emas dijadikan uang maka masing-masing negara akan menjaga cadangan emas mereka. Dengan demikian supply mata uang akan relatif stabil sehingga nilainya pun stabil.

Ketiga, kestabilan nilai tukar membuat transaksi perdagangan barang dan jasa (seperti traveling), transaksi modal dapat berjalan dengan lancar dan stabil. Nilai transaki di masa yang akan datang dapat diprediksi lebih akurat sebab nilai tukar mata uang relatif stabil. Seorang importir dapat melakukan pemesanan barang di masa mendatang tanpa perlu melakukan lindung nilai tukar (hedging). Demikian pula seorang eksportir dapat melakukan ekspansi usaha tanpa perlu khawatir di masa akan datang nilai ekspor akan terganggu akibat nilai tukar yang tidak stabil. Dengan demikian standar emas melindungi pelaku ekonomi dari miskalkulasi kegiatan ekonomi (economic miscalculation) yang merupakan penyakit mata uang kertas (fiat money).

Demikian pula kestabilan mata uang emas membuat nilai utang luar negeri baik dalam jangka panjang ataupun pendek, juga relatif stabil. Hal ini karena perubahan kurs yang fluktuatif tidak terjadi sebagaimana dalam standar mata uang kertas. Bandingkan misalnya saat ini ada sekitar 22 miliar dolar utang Indonesia yang jatuh tempo pada tahun 2009 dengan asumsi kurs APBN Rp. 9100/dolar. Jika nila rupiah berada pada angka Rp 12.000/dolar seperti rerata belakangan ini, maka tambahan utang akibat perubahan kurs tersebut naik sebesar Rp. 55 triliun. Angka yang cukup besar. Iklim yang stabil tersebut menjadikan kegiatan perdagangan meningkat dengan drastis. Keunikan ini telah dibuktikan oleh Taylor seorang peneliti IMF yang menyimpulkan bahwa sepanjang sejarah implementasinya, standar emas telah memberikan kestabilan nilai tukar. Dampaknya, transaksi perdagangan tumbuh dengan pesat.[20]

Keempat, standar emas memiliki mekanisme untuk menjaga neraca pembayaran setiap negara agar tetap dalam keadaan equilibrium. Mekanisme yang dipopulerkan oleh David Hume (1711-1776) pada abad ke-18 tersebut disebut mekanisme price-specie-flow adjusment. Proses mekanisme tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Jika suatu negara, Indonesia misalnya meningkatkan supply uang kertasnya yang dibacking emas maka inflasi di negara tersebut akan naik yakni harga-harga secara umum lebih mahal. Tingginya harga-harga di dalam negeri dibandingkan harga-harga di luar negeri seperti Malaysia menyebabkan ekspor menurun akibat harganya yang kurang kompetitif. Pada yang sama impor meningkat karena reatif lebih murah. Akibatnya Indonesia mengalami defisit neraca pembayaran (balance of payment). Defisit ini kemudian dibayar dengan penyerahan emas kepada Malaysia. Dengan mengalirnya emas tersebut menyebabkan harga barang di Indonesia kembali turun sehingga lebih murah dari sebelumnya. Ekspor pun meningkat sebaliknya impor menurun. Dengan demikian defisit neraca pembayaran Indonesia terkoreksi dengan sendirinya (automatic adjustment).[21]

V. AKHIR BRETTON WOODS AGREEMENT

Berakhirnya sistem standar emas klasik atau lebih dikenal dengan classical gold standard yang terus diikuti dengan diakhirinya sistem pengganti yang mirip dengan itu , yaitu sistem bretton woods pada awal tahun 1971, manandai era baru sistem moneter internasional dibawah sisitem kurs mengmbang (flaxible exchang rate). Namun, dalam kenyatannya sistem ini didominasi oleh dolar, maka duncan dalam bukunya The Dollars Crisis, lebih suka menyebutnya sebagai dollar standar. Julukan tersebut dikarenakan dolar dijadikan cadangan mata uang utama (the core reserve currency) duni internasional menggantikan emas, yang menjadi cadangan utama dunia ketika sistem bretton woods atau sistem gold standard klasik diberlakukan.[22] Lebih lanjut, Duncan berpendapat, bahwa salah satu ciri keunggulan sistem gold standard adalah terdapatnya mekanisme penyesuain otomatis (automatic adjusment) yang tidak dimiliki oleh sistem yang lain seperti dollar standard.[23]

Pembubaran sistem bretton woods oleh Amerika. Dilatarbelakangi terjadinya peperangan anatar Amerika dengan Vietnam, akibatnya Amerika mencetak dollar guna meningkatkan belanja fiskalnya diantaranya untuk membiayai perang tersebut. Dengan demikian, maka akan berdampak kepada defisit anggaran yang makin membesar sementara rasio antara supply dollar dan cadangan emasnya terus merosot. Pada periode tersebut stok emas Amerika merosot dari 20 milar dollar menjadi hanya 9 miliar Dollar dan Amerika kemudian mengalami defisit cadangan emas.[24]

Negara-negara lain khususnya negara-negara Eropa Barat dan Jepang sebagaimana yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut diwajibkan menjaga cadangan dollarnya dan menggunakannya sebagai dasar untuk meningkatkan supply mata uang dan kredit di dalam negeri. Padahal semakin hari nilai dollar terus merosot (undervalue) sementara nilai mata uang mereka terus menguat (overvalue). Keadaan ini merugikan mereka sebab nilai ekspor mereka menjadi lebih mahal sehingga pertumbuhan ekonomi mereka merosot.[25]

Akibat beban tersebut negara-negara Eropa secara massif kemudian menukarkan cadangan Dollar mereka dengan emas. Amerika kemudian tidak berdaya mempertahankan paritas nilai dollar pada emas, sebesar 35 dollar per ons emas. Pada awal 1971, kewajiban dollar telah mencapai lebih dari 70 miliar dollar sementara cadangan emasnya hanya 12 miliar Dollar.[26]

Puncaknya pada tanggal 15 Agustus 1971, secara unilateral dan tanpa berkonsultasi dengan negara-negara aliansi dan IMF, Amerika menghentikan berlakunya Bretton Woods Agreement yang telah digagas sejak tahun 1942. Sejak saat itulah emas tidak lagi menjadi backing mata uang dunia. Era tersebut selanjutkan dikenal dengan era mata uang kertas (fiat money) dimana dollar sebagai panglimanya.

Menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, secara politis langkah yang dilakukan oleh Amerika untuk menghentikan pengkaitan Dollar dengan emas adalah didorong oleh keinginan Amerika untuk memposisikan dollar sebagai standar moneter internasional hingga menguasai pasar moneter internasional. Oleh karena itu standar emas kemudian dianggap tidak lagi dapat dipergunakan di dunia. Standar moneter Bretton Woods kemudian hancur dan kurs pertukaran mata uang terus berfluktuasi. Dari sinilah muncul berbagai kesukaran dalam mobilitas barang, uang dan orang.[27]

Sejak saat itu mata uang dunia menjadi tidak stabil. Mata uang AS dan seluruh dunia terus bergolak. Fluktuasi tingkat nilai tukar menjadi sulit untuk diprediksi bahkan kadangkala bergerak secara ekstrim. Belum lagi inflasi terus membumbung akibat percetakan mata uang kian tak terkendali. Suatu keadaan yang sangat meresahkan para pelaku ekonomi. Inilah diantara konsekuensi yang ditimbulkan oleh mata uang fiat.

VI. MASALAH MATA UANG KERTAS (FIAT MONEY)

Secara sederhana kemunculan uang kertas mulanya adalah sebagai representasi dari komoditas khsususnya emas. Hal ini dilakukan akibat sulitnya untuk melakukan transaksi dengan membawa emas khususnya pada barang-barang yang bernilai tinggi. Orang akan menerima uang representasi tersebut sebab ada jaminan dari pihak yang mengeluarkan kertas tersebut dalam hal ini pemerintah bahwa kertas tersebut dapat ditukar emas senilai dengan yang dinyatakan dalam kertas tersebut. Pemegangnya dapat menukar uang tersebut kapanpun dan berapapun ia mau. Namun perlahan-lahan negara justru mengeluarkan kertas jauh lebih banyak dari emas yang mereka miliki. Akibatnya kertas-kertas tersebut tak lagi cukup untuk dikonversi dengan emas. Akhirnya masyarakat dipaksa untuk menggunakan kertas tersebut sebagai alat transaksi. Dalam sejarah moneter dunia dijumpai bahwa penggunaan mata uang kertas yang tidak ditopang (backed) oleh komoditas seperti emas menyebabkan sejumlah masalah yang sangat serius dalam perekonomian. Diantara masalah tersebut adalah:

Pertama, mata uang kertas menyebabkan inflasi yang tinggi. Akibatnya nilai uang terus merosot. Sebagai contoh, pada awal abad ke-9, Cina mengedarkan uang kertas sekaligus sebagai negara pertama yang menggunakan uang kertas untuk mengganti tembaga yang saat itu mengalami kelangkaan. Cina telah memproduksi mata uang kertas yang sama sekali tidak ditopang oleh emas atau komoditas lainnya. Namun alih-alih membenahi perekonomiannya, pada tahun 1051 justru Cina terjerembab pada tingkat inflasi yang sangat tinggi akibat produksi uang kertas yang terus berlangsung.[28]

Hal yang sama juga terjadi di Inggris tahun 1914 ketika Bank of England menerbitkan uang kertas yang sama sekali tidak ditopang oleh emas. Uang tersebut kemudian digunakan untuk membiayai angkatan perang pemerintah. Pertumbuhan uang (money base) Inggris pada masa perang tersebut naik hingga 41,2 persen. Dampaknya mudah ditebak. Inflasi membumbung hingga mencapai 13,5 persen. Kondisi tersebut memaksa Inggris dan sejumlah negara lainnya kembali pada standar emas (gold exchange rate). Demikian pula pasca berkecamuknya Perang Dunia I, dunia modern menyaksikan bahaya dari fiat money yang dikeluarkan tanpa ditopang oleh emas. Beberapa saat sebelum perang, Bank Sentral Jerman membuat keputusan untuk menghentikan konvertibilitas mark dengan emas. Uang kertas mark selanjutnya dapat diterbitkan tanpa batas untuk membiayai angkatan perang Jerman. Akibat emas tidak dijadikan jangkar (anchor) membuat nilai mata uang negara tersebut paling rendah di dunia. Pada akhir tahun 1923 harga di negara tersebut dapat melonjak dua kali lipat hanya dalam hitungan jam. Harga sepotong roti misalnya bisa mencapai 200 miliar mark. Bahkan ibu-ibu rumah tangga menjadikan uang kertas mark sebagai kayu bakar karena nilainya jauh lebih rendah dari kayu bakar itu sendiri!

Indonesia pun pernah merasakan dampak buruk dari penggunaan mata uang kertas. Pada tahun 1965 akibat tingginya defisit anggaran pemerintah Indonesia dan hyperinflasi yang mencapai 635,3 %, pemerintah melalui bank Indonesia melakukan pemotongan nilai uang (sanering) dari Rp. 1.000,- menjadi Rp.1,-. Kebijakan ini didasarkan pada Penetapan Presiden No.27 tahun 1965 yang diberlakukan pada tanggal 13 Desember 1965. Bisa dibayangkan kekayaan orang saat itu terpangkas hampir 1.000 kali lipat (Singgaling dkk, 2004).

Tak heran jika Robert Mundell (1997) seorang ekonom yang pernah meraih Nobel, mengatakan bahwa terus membanjirnya uang kertas tanpa didukung oleh likuiditas akan memicu terjadinya resesi ekonomi. Alasannya hingga saat ini Bank Sentral AS terus meningkatkan pertumbuhan supply dollar. Dengan membanjirnya uang kertas dan kredit, maka harga barang dan jasa (inflasi) akan semakin tinggi dan sangat mungkin suatu saat berubah menjadi hyperinflasi.

Kedua, legitimasi mata uang kertas sangat rapuh sebab ia sama sekali tidak disandarkan pada komoditas yang bernilai seperti emas dan perak. Ia hanya ditopang oleh undang-undang yang dibuat pemerintahan suatu negara. Jika keadaan politik dan ekonomi negara tersebut tidak stabil maka tingkat kepercayaan terhadap mata uangnya juga akan menurun. Para pemilik uang akan beramai-ramai beralih ke mata uang lain atau komoditas yang dianggap bernilai sehingga nilai uang tersebut terpuruk.

Sebagai contoh ketika terjadi kegoncangan pasar modal (market crash) yang mengakibatkan depresi pada tahun 1929, orang-orang di seluruh dunia mulai menampakkan ketidakpercayaannya terhadap uang kertas sehingga mereka berlomba-lomba menimbun (hoarding) emas dan meninggalkan mata uang mereka. Di AS, nilai dolar makin kritis sehingga Presiden Rosevelt tidak memiliki pilihan kecuali menghentikan produksi mata uang emas dan memenjarakan orang yang menyimpan emas dan mengenakan denda dua kali dari emas yang disimpan.[29]

Ketiga, uang kertas telah menjadi sumber pemasukan peerintah yang paling mudah. Dengan biaya produksi yang sangat rendah dibanding nilai nominal yang dikandungnya, mereka dengan mudah mencetak uang-uang kertas (di sejumlah negara dilakukan oleh Bank sentral). Uang tersebut kemudian ‘dipaksakan’ kepada rakyat untuk diterima sebagai alat tukar. Dengan menukarkan menukarkan uang tersebut dengan barang dan jasa yang diproduksi oleh rakyatnya, pemerintah dapat menikmati hasil keringat rakyatnya dengan mudah. Dengan kata lain mata uang kertas telah menjadi alat pemerasan negara terhadap rakyatnya. Rakyat kemudian menjadi korban dengan inflasi yang tinggi.

Penerimaan pemerintah Argentina misalnya dari pencetakan uang baru pada tahun 1985-1990, diperkirakan mencapai 54 persen dari total pendapatannya. Bahkan pada tahun 1987 mencapai 86%. Akibatnya nilai peso terus melemah dan menjadi tidak stabil. Rakyat Argentina kemudian enggan menggunakan peso dan lebih memilih menggunakan dollar AS yang nilainya dianggap lebih stabil (Abdullah, 2006).

Hal yang sama juga dirasakan oleh rakyat Afganistan ketika berada di bawah rezim Rabbani. Pada masa sebelumnya nilai tukar resmi mata uang Afganistan adalah 50 afgani per dollar AS dengan pecahan terbesar 1.000 afgani. Pada musim panas 1991 nilai tukar tersebut telah mencapai 1.000 afgani per dollar. Pemerintah kemudian mengeluarkan pecahan uang baru yang bernominasi 5.000 afgani dan kemudian 10.000 afgani. Hasilnya setiap kali mata uang tersebut diterbitkan maka nilai mata uang tersebut terus melorot. Pada bulan September 1996 ketika Kabul jauh di tangan pasukan Taliban, mata uang afgani diperdagangkan dengan nilai 17.800 per dollar. Bahkan di pusat pemerintahan Mazari Sharif—daerah yang dikuasi oleh Abdul Rasyid Dostum yang berpisah dengan Rabbani pada tahun 1994—nilai afgani mencapai 25.600 per dollar.

Rakyat Pakistan juga menjadi korban dari penggunaan fiat money ini. Pada tahun 1991-1996 pertumbuhan jumlah uang beredar di negara tersebut mencapai 10,6 persen. Selama periode tersebut pemerintah Pakistan diperkirakan memperoleh penerimaan sebesar 97,173 miliar rupee hanya dari pencetakan uang kertas dan pecahan logam (Abdullah, 2006).

Keempat, penggunaan mata uang kertas menciptakan ketidakadilan dalam kegiatan ekonomi.

Hal ini dirasakan setelah berakhirnya Bretton Woods, dimana negara-negara kuat yang memiliki mata uang yang dperdagangkan secara internasional dengan mudah memperoleh kekayaan negara-negara lain hanya dengan mencetak uang. Dengan mencetak lembaran-lembaran kertas dengan ukuran dan gambar dan tanda tertentu, mereka daapt mengambil keutungan berlipat-lipat dengan membeli apa saja yang nilai barangnya (intrinsic value) jauh lebih tinggi dari uang biaya produksi uang mereka. Mekanisme ini dikenal dengan istilah seignorage uang fiat. Seignorage berarti keuntungan yang diperoleh dalam memproduksi uang akibat perbedaan antara nilai nominal (face-value) suatu mata uang dengan biaya memproduksi uang tersebut (intrinsic value).

Sebagai contoh biaya untuk memproduksi uang kertas 100 dollar adalah 20 sen maka seignorage-nya sebesar 99.80 dollar. Dengan kata lain setiap kali AS mencetak satu lembar uang 100 dollar, maka ia akan mendapatkan keuntungan 99,80 dollar. Federal Reserve, bank sentral AS telah menikmati seignorage yang sangat besar dengan mengeluarkan dollar sejak mata uang tersebut menjadi cadangan mata uang internasional yang paling dominan. Dollar memiliki daya beli yang kuat di luar AS sehingga dengan leluasa AS memanfaatkan kesempatan ini untuk terus mencetak Dollar.[30]

Dengan kemampuan mencetak dollar pemerintah AS dapat membeli dari seluruh dunia apapun yang mereka inginkan.[31]Joseph E Stiglitz di dalam bukunya The Three Trillion Dollar War nilainya lebih dari 3 triliun dollar. Sebagai mata uang internasional dollar dapat terus dicetak oleh AS berapapun yang ia kehendaki untuk membiayai kebijakan fiskalnya termasuk membiayai politik luar negerinya. Untuk Perak Irak misalnya sebagaimana yang dinyatakan oleh

Barang dan jasa yang diproduksi oleh negara-negara lain terus mengalir ke negara tersebut jauh diatas nilai ekspornya. Akibatnya defisit neraca perdagangan AS bulan Agustus 2008 misalnya telah mencapai lebih dari 66 miliar dollar. Pada bulan Agustus 2008 defisit pemerintah federal telah mencapai 706,9 miliar dollar. Defisit tersebut kemudian dibayar dengan utang dalam nominasi dollar. Kini utangnya telah mencapai 10,024 tiliun dollar.[32]

Di sisi lain negara-negara lain khususnya negara-negara berkembang justru mengalami kerugian yang luar biasa akibat praktek seignorage ini. Salah satu contoh yang paling nyata adalah pembelian minyak oleh AS sebesar 12 juta barrel per hari untuk menutupi defisit produksinya. Sebagian besar minyak tersebut dibeli dari Arab Saudi dengan hanya mencetak Dollar baru yang kemudian ditransfer ke rekening pemilik perusahaan minyak Arab Saudi. Meski Arab Saudi dapat membeli barang lain dengan lembaran-lembaran dollar tersebut namun pada faktanya tetap saja biaya yang dikeluarkan untuk melakukan investasi dan penambangan minyak jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya pembuatan Dollar AS.

Kelima, mata uang kertas telah mendorong gelembung ekonomi yang dapat berujung pada ledakan ekonomi.

Setiap tahunnya AS harus menjual sekitar 1,5 miliar dollar surat utang untuk menutupi defisit anggarannya. Bank-bank sentral asing, korporasi dan individu selanjutnya membeli instrumen utang dari The Fed, Bank sentral AS. Sementara sekuritas berharga (treasury security) tersebut diciptakan dari sesuatu yang tidak ada. Tidak berlebihan sejumlah kalangan menyatakan cepat atau lambat dollar pasti mengalami kebangkrutan.[33]

Bahaya kerapuhan dollar sebagai mata uang kertas paling kuat saat ini juga telah diwanti-wanti oleh Samuelson sebagaimana yang ditulis dalam The Washington Post (17/11/004). Menurutnya pada tahun 2004 saja, investor swasta telah memborong saham dan obligasi AS. Secara keseluruhan investor asing telah memegang 13 persen dari total saham AS, 24 persen obligasi korporasi dan 43 persen surat-surat berharga pemerintah AS (treassury securities). Sturuktur kepemilikan aset tersebut sangat berbahaya. Alasannya, saat ini dunia telah menerima dollar lebih banyak daripada yang dia inginkan. Jika terdapat momentum krusial sewaktu-waktu saham-saham dan obligasi tersebut akan dilepas oleh pemiliknya dan resesi global yang akut akan terjadi. Orang-orang beramai ramai menjual dollar dan beralih ke mata uang kuat lainnya seperti Euro dan Yen dan nilai dollar dipastikan turun signifikan. Anjloknya dollar berarti nilai dari saham dan obiligasi yang dipegang oleh investor asing tersebut juga akan terjun bebas. Mereka berlomba menjual aset-aset yang mereka memiliki. Pada saat itulah pasar-pasar saham akan anjlok secara tajam dan dollar AS akan kehilangan nilainya.[34]

Bahaya ini kian mengancam tatkala dunia telah dibanjiri dolar. Di pasar-pasar uang saja, terdapat gelembung-gelembung dollar AS yang berjumlah 80 triliun Dollar AS pertahun. Jumlah ini 20 kali lipat melebihi nilai perdagangan dunia, yang jumlahnya sekitar 4 triliun Dollar AS pertahun. Artinya, gelembung itu bisa membeli segala yang diperdagangkan sebanyak 20 kali lipat dari biasanya. Gelembung semakin lama semakin membesar dan secara pasti gelembung itu suatu saat akan meledak yang menyebabkan keruntuhan ekonomi global yang jauh lebih buruk dari depresi ekonomi tahun 1929.[35]

Keenam, Akibat nilainya yang tidak stabil mata uang kertas khususnya dengan rezim bebas mengambang telah menjadi sarana spekulasi yang ganas. Uang tidak lagi difungsikan semata untuk menjadi alat tukar, alat untuk menyimpan dan menghitung kekayaan riil, namun justru lebih banyak digunakan untuk kegiatan spekulasi.

Krisis moneter yang menimpa negara-negara Asia, Argentina dan Rusia pada tahun 1998 diakibatkan oleh sistem nilai tukar yang tidak stabil. Episentrum krisis yang bermula di Thailand tersebut dimulai dari derasnya uang spekulatif yang panas (hot money) yang mengalir deras ke negara tersebut untuk membeli saham-saham properti. Akibatnya nilainya terus menggelembung (bubble)modal spekulatif yang liar tersebut berbalik arah dan mengakibatkan nilai tukar bath jatuh.[36] Efeknya kemudian menjalar kemana-mana termasuk ke Indonesia. Rupiah bahkan sempat menyentuh 16 ribu per dolar. jauh melebihi nilai riilnya. Ketika terjadi goncangan, Para spekulan sangat diuntungkan dengan adanya pergerakan (fluktuasi) nilai tukar satu mata uang terhadap mata uang lainnya. Sementara pemerintah (dalam hal ini bank sentral) dipaksa untuk terus menjaga nilai tukar mata uangnya. Diantaranya melalui intervensi dengan ikut menjual dan membeli devisa, meski devisa itu kadang diperoleh diperoleh dari utang LN. Sebagai contoh pada akhir 1998 IMF memberikan utang kepada pemerintah Brazil senilai 50 miliar dollar untuk menjaga nilai tukarnya yang mengalami overvalued. Namun sayang intervensi pemerintah tersebut sia-sia, sementara uang utangan tadi seakan hilang ditelan angin. Uang tersebut sebagian besar mengalir ke kantong-kantong para spekulan. Beberapa spekulan merugi namun secara umum para spekulanlah yang memperoleh seluruh uang yang dikucurkan pemerintah tersebut.[37] Akan lain ceritanya jika dana tersebut digunakan untuk membiaya sektor riil yang dapat menggerakkan perekonomian Brazil.

Adanya peluang spekulasi di pasar uang plus pasar modal, justu membuat uang yang diperoleh dari sektor riil (main street) mengalir deras sektor non riil tersebut (wall street). Dana-dana hasil penjualan minyak Timur Tengah misalnya yang lazim dikenal dengan Sovereign Wealth Fund (SWF) kini lebih banyak diinvestasikan di portofolio (saham, obligasi, atau surat-surat berharga lainnya) baik yang dterbitkan pemerintah ataupun swasta. Abu Dhaby Investment Authority (ADIA) misalnya, milik pemerintah Uni Emirat Arab, kini memiliki SWF sebesar US$ 1,32 triliun. Dana-dana tersebut kini digunakan membeli sejumlah saham perusahaan kelas dunia baik yang tengah yang tengah kolaps maupun yang sedang booming termasuk membeli saham klub sepak bola Inggris Manchaster City.[38] Dana-dana tersebut tentu akan sangat berguna bagi jutaan manusia jika diinvestasikan pada sektor riil yang produktif seperti pembangunan infrastruktur, bantuan kemanusiaan kepada orang-orang miskin yang jumlah jutaan di negeri-negeri Islam

VII. MENJAWAB SEBUAH KERAGUAN BAHKAN KEBERATAN

Sejumlah kalangan mempertanyakan kehandalan mata uang emas mulai dari tataran teknis, ekonomis, politis hingga yang bertaraf ideologis. Salah satu keberatan yang cukup dominan adalah apakah persediaan emas cukup jika dikonversikan dengan jumlah uang yang beredar seperti di Indonesia atau bahkan di dunia?

Secara singkat, ada beberapa argumen yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Saat ini diperkirakan jumlah emas dipermukaan bumi yang telah diproduksi mencapai 5 miliar ons. Di sisi lain jumlah uang yang beredar baik berupa uang kartal (uang kertas dan koin) ditambah dengan uang giral (bank deposits) atau dikenal dengan M1 nilainya sekitar 30 triliun dolar. Jika harga emas saat ini USD 6,000/ons, maka nilai supply emas tersebut cukup untuk menggantikan peran uang kertas. Untuk membeli barang seharga 1 dolar misalnya cukup dengan 0,0002 oz emas.[39] Belum lagi ketika perak juga dijadikan sebagai mata uang resmi yang di dalam Islam dikenal dengan istilah dirham, ketersedian uang untuk kegiatan ekonomi akan sangat memadai. Untuk menutupi kebutuhan transaksi yang nilainya lebih kecil, cukup diatasi dengan pencetakan dirham dalam berbagai ukuran. Larangan menimbun emas dan perak (kanz atau hoarding) sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Islam menjadi sangat relevan agar perputaran emas dan perak sebagai uang terus berjalan.

Alasan lain adalah dalam standar emas pertumbuhan supply uang bergerak secara bebas seiring dengan pertambahan dan penyusutan jumlah emas. Nilai mata uang emas secara alamiah menentukan berapa besar daya beli yang dikandungnya terhadap barang dan jasa yang ada (purchasing power). Tidak menjadi masalah apakah nilai kekayaan direpresentasikan dengan unit uang yang besar atau kecil, banyak atau sedikit. Sebab yang penting adalah uang tersebut memiliki daya beli yang tinggi. Justru yang menjadi masalah adalah ketika jumlah unit uang terus bertambah, sementara nilai kekayaan secara riil tidak bertambah bahkan merosot. Hal ini karena daya beli uang (purchasing power) akan terus merosot akibat digerogoti inflasi. Tidak terasa semakin lama, makin banyak jumlah uang yang dibutuhkan untuk membeli barang yang sama.[40]

Di sisi lain sebagaimana yang dinyatakan oleh Meera, bahwa ketika sejumlah negara telah menggunakan emas sebagai alat tukar dan menjalin kerjasama dengan efektif, maka jumlah uang yang dibutuhkan sebenarnya tidak terlalu besar dari yang dibayangkan. Sebagai contoh, ketika nilai ekspor Indonesia selama setahun ke Malaysia sebesar Rp 10 triliun dan masa yang sama mengimpor dari negara tersebut sebesar Rp 9 triliun, maka uang emas yang dibutuhkan secara riil bukan 19 triliun namun hanya 1 triliun (Rp 10 triliun-Rp 9 triliun). Semakin banyak negara yang bekerjasama maka kebutuhan emas akan semakin sedikit. Transaksi emas lintas negara dapat difasilitasi dengan pendirian semacam Bank Kustodian yang mencatatat pergerakan ekspor dan impor masing-masing negara sekaligus dapat difungsikan sebagai penyimpan stok cadangan emas. Emas hanya ditransfer kedalam kurun waktu tertentu, misalnya setiap akhir tahun.

Hal lain yang patut dicatat bahwa besarnya nilai transaksi perdagangan dewasa ini lebih banyak yang bergerak di sektor non riil daripada di sektor riil sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya. Saat ini misalnya total obligasi yang diperdagangkan di dunia mencapai 45 triliun dollar, saham sebesar 51 triliun dollar dan pasar derivatif diperkirakan sebesar 480 triliun dollar. Nilainya setara dengan 30 kali ukuran ekonomi AS atau 12 kali ukuran ekonomi dunia.[41] Tentu uang yang bergerak pada sektor tersebut tak perlu ada ketika negara melarang transaksi yang bersifat spekulatif sebagaimana yang berkembang pada sistem kapitalisme saat ini.

Walhasil menolak mata uang emas dan terus mempertahankan mata uang kertas, hanyalah bentuk pengingkaran terhadap kebenaran faktual akan keunggulan emas dan perak. Disamping tentunya sikap tersebut merupakan pengabaian terhadap kewajiban yang telah ditetapakan oleh Allah swt dan Rasul-Nya.[42]

VIII. PINTU REFORMASI MONETER BELUM TERTUTUP

Negara berkembang sudah saatnya berbenah dan lebih giat lagi memperjuangkan kebangkitan ekonomi. Hanya dengan kebangkitan ini, mereka bisa berdaya, memerangi kebodohan, kemiskinan dan rendahnya kualitas hidup. Kebangkitan ekonomi bisa dimulai dengan meningkatnya kerjasama dalam perdagangan internasionalnya.[43]

Meningkatkan perdagangan yang sudah lama stagnan, tentu perlu cara – cara yang tidak konvensional. Langkah – langkah terobosan sangat dinantikan untuk memecah kebekuan. Proposal penggunaan gold dinar dirham dalam perdagangan internasional adalah salah satunta. Proposal ini tidak terkait dengan agama atau ideologi, akan tetapi prposal ini berangkat dari kesadaran perlunya mengoreksi sistem moneter internasional yang tidak adil dan hanya menguntungkan bagi segelintir mereka yang menguasainya. Dan neara berkembang adalah korban daripada ketidakadilan moneter yang saat ini bekerja.[44]

Proposal gold dinar bila terlaksana bisa menjadi bentuk reformasi moneter yang akan mempengaruhi lanskap baru moneter dunia. Khususnya bagi negara – negara yang terhimpun dalam OKI, reformasi moneter melalui gold dinar dalam jangka pendek lebih realistis dari pada keingainan dari pada keinginan untuk membentuk pasar bersama (Islamic common market) yang membutuhkan energi dan waktu yang lama untuk mewujudkannya. Disebut realistis karena, pertama, dari sisi jumlah pendukungnya gold dinar bisa dilakukan oleh hanya dua negara. Dengan demikian, tidak perlu mem-push semua anggota OKI yang secara ekonomi memang belum siap untuk turut serta, akan tetapi hanya negara – negara yang telah siap saja sehingga akan berimplikasi pada hematnya waktu dan energi yang digunakan untuk mendesainnya. Kedua, tidak seperti pasar bersama, pelaksanaan gold dinar tidak mensyaratkan negara yang terlibat harus memangkas tarif pajak, dan restriksi perdagangan yang menjadi sumber pendapatannya. Namun, bukan berarti perdagangan menjadi terhambat karena gold dinar secara build in memberikan insentif yang lebih murah, absennya biaya transaksi yang lebih murah, absenya biaya hedging, dan berbagai peningkatan kerja sama ekonomi yang lebih intensif. Dan, ketiga, karena bisa dimulai oleh paling tidak dua negara, maka mereka bisa dievaluasi dan menjadi contoh bagi negara lainnya. Bila memang dalam perjalanannya mendatangkan manfaat, semestinya negara – negara lain akan bergabung dengan sendirinya. Akan tetapi apabila manfaatnya dirasa kurang optimal, maka kedua negara tersebut bisa melakukan berbagai kajian untuk memperbaikinya.[45]

IX. DARI MANAKAH HARUS DI MULAI ?

Ide penerapan gold dinar dalam perdagangan internasional diakui memerlukan keputusan yang tidak sederhana. Oleh karena itu, perlu kesabaran yang luar biasa guna mewujudkan niata tersebut yaitu dengan selalu meyakinkan berbagai pihak, khususnya negara – negara muslim agar bisa mencapai kesepakatan yang di inginkan.[46]

Dengan itu, bukan berarti selama tenggat waktu menunggu itu bisa dibiarkan begitu saja. Akan tetapi, masih banyak cara guna menjadkan gold dinar untuk bisa digunakan dalam keperluan praktis dang mengarah kepada praktik keseharian. Salah satu wujudnya adalah adanya pembayaran zakat dengan emas. Di Indonesia, pembayaran zakat dengan denomisasi emas atau perak mulai menarik banyak pihak, khususnya setelah mulai marak berdirinya wakala yang menjembatani penukaran emas dan dirham. Dan selanjutnya, emas dapat digunakan untuk investasi guna sebagai alternatif pembiayaan haji, karena pada hakikatnya menjual emas guna pembiayaan haji bukan barang baru lagi, akan tetapi memadukan emas sebagai media investasi untuk keperluan haji, masih belum banyak dikembangkan. Padahal, dengan melihat potensi pasar di indonesia khususnya emas sebagai media investasi haji sangat berpeluang menjadi alternarif pembiayaan haji yang menarik. Setiap tahun jama’ah haji Indonesia yang berangkat ke tanah suci mencapai 200 ribu orang. Bila biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) per orangnya, katakanlah Rp. 30 juta, maka omset dana haji mencapai Rp. 6 triliun.[47]

Selanjutnya, emas juga dapat digunakan sebagai transksi pembayaran minyak. Dalam sebuah kesempatan, Mahatir Mohammad pernah menasehati pemerintah Arab Saudi untuk tidak menerima dolar sebagai alat pembayaran minyaknya. Sebagai gantinya, arsitek pembangunan Malaysia itu menyarankan Negara petrodollar tersebut untuk hanya menerima pembayaran minyaknya dengan emas. Hal ini tentunya akan berimplikasi terhadap perubahan peta keseimbangan moneter internasional, karena negara – negara net importens mau tidak mau harus menukarkan uangnya dengan emas. Apabila dilihat secara ekonomi, penukaran ini akan lebih menguntungkan mereka karena ini merupakan suatu kesempatan untuk bisa mendeversifikasi cadangan mata uang mereka yang sebelumnya didominasi dolar AS kedalam emas yang tidak perlu di-hedge karena memiliki nilai intrinsik.[48]

X. PENUTUP

Berdasarkan pemaparan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa dinar dan dirham mampu dan bisa menjadi solusi dari sistem moneter internasional dan menggantikan sistem moneter yang berlaku saat ini. Hal ini dikarenakan dinar dirham memiliki suatu ciri khusus yang tidak dimiliki oleh sistem yang berlaku saat ini. Yaitu, automatic adjustmen yang merupakan mekanisme penyesuaian automatis yang akan bekerja mengamankan dan menyelesaikan persoalan ketekoran dalam perdagangan antar negara. Maka merupakan suatu yang ideal bagi semua negara – negara muslim guna memulai langkah untuk menerapkan sistem moneter yang Islami tersebut yaitu dinar dan dirham. karena kalau bukan negara – negara Islam tersebut yang menerapkannya, siapa lagi ??? Wallahu A’lam Bisshowab.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas Mirakhor, dan Baghir al Hasani, Essay on Iqtisâd Islamic Approach to Ieconomic Problems, (USA: Nur, 1989).

Alia, “Dinar Aman, Menguntungkan, Bebas Riba”, (Jakarta: Majalah Alia, Januari 2004).

Al-Kattani, Abdul Hay, The Sistem Of Propethic Development Goverment Calld The Administrative Procedure, ( Beirut: Dar Ihya Atthuras al ‘Arabi, tt), vol. II .

An-Nabhany, Taqiyuddin, An Nidzamu al-Iqtishady fi Islam, ( Jakarta; Dârul Ummah, 1999).

Fayyad, Ali Akbar, History of Islam, (Tehran: Enteshart Daneshgah Tehran, 1958).

Glyn Davies, History of Money from Ancient Times to the Present Day.2006.

__________, A History of money from ancient times to the present day, 2005

Hamidi, M. Luthfi, Gold Dinar; Sistem moneter yang stabil dan berkeadilan, (Jakarta; Senayan abadi publishing, 2007).

Iqbal, Muhaimin, Dinar the real money, (Jakarta; Gema Insani press, , 2009 ).

Karim, Adirwarman , Ekonomi Islam; Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta; Gema Insani press, 2002).

Khan, Adnan, The Global Credit Crunch dan The Crisis of Capitalism.

Mundell, Robert, Currency Areas, Exchange Rate Systems and International Monetary Reform, 2007

Mydin Meera, Ahamed Kameel, The Theft of Nations Returning to Gold, ( Malaysia; Pelanduk Publications, 2004).

Perwataatmadja, Karnaen dan Syafi'i Antonio, Muhammad, Apa Dan Bagaimana Bank Islam, (Jogjakarta: Dana Bakti Wakaf, 1992) .

Rothbard, Murray N. What has Government do with our money ?1990

Sennholz, Hans F., No Shortage of Gold. The Freeman Vol. 23 No. 9. September 1973

Taylor, Alan, Global Finance: Past and Present. Finance and Development, IMF. 2004

Weatherford,Jack, Sejarah Uang, ( Yogyakarta; Bentang Pustaka. 2005).

Wills, and Hammes, Black Gold: The End of Bretton Woods and the Oil-Price Shocks of the 1970s, The Independent Review, v. IX, 2005

Blumen, Robert, The Dollar Crisis, http://mises.org/story/1386

Bureau of Economic Analysis, www.bea.gov

Grenspan, Alan, Gold and Economic Freedom. 1966. http://www.gold-eagle.com/greenspan041998.html

http://hafidz341.net76.net/Ekonomi/Dinar-Dan-Dirham-VS-Fiat-Money-Bahaya-Mata-Uang-Kertas-Fiat-Money-1.html

http://hizbut-tahrir.or.id/2008/12/20/dinar-dan-dirham-vs-mata-uang-kertas-ii-emas-dan-perak-mata-uang-hakiki/

http://www.washingtonpost.com Robert J. Samuelson, Is the Global Economy Unstable? /wp- dyn/articles/A38568-2005Mar15.html ;

www.the-privateer.com/1933-gold-confiscation.html.



[1] Hanya logam yang tidak berkarat yang dapat digunakan sebagai alat tukar seperti perak yang dikenal sebagai mata uang dirham dan emas yang dikenal mata uang dinar.

[2] Uang emas dan perak diperkenalkan oleh Julius Caesar dari romawi pada tahun 46 SM. Julius Caesar pulalah yang memperkenalkan standar konversi dari uang emas ke uang perak dan sebaliknya dengan perbandingan 12 : 1 untuk perak terhadap emas dan standar ini berlaku di belahan dunia eropa selama sekitar 1250 tahun yaitu sampai tahun 1204. Lihat ; Muhaimin Iqbal, Dinar the real money, (Jakarta; Gema Insani press, , 2009 ). h. 29

[3] Ali Akbar Fayyad, History of Islam, (Tehran: Enteshart Daneshgah Tehran, 1958), h. 11-12

[4] Hijaz adalah kota yang sangat strategis sebab terletak di antara tiga benua yaitu Asia, Eropa, dan Afrika.

[5] Ibid, Ali Akbar Fayyad, h. 11-12

[6] Abdul Hay al-Kattani, The Sistem Of Propethic Development Goverment Calld The Administrative Procedure, ( Beirut: Dar Ihya Atthuras al ‘Arabi, tt), vol. II , h. 412-428.

[7] Baghir al Hasani dan Abbas Mirakhor, Essay on Iqtisâd Islamic Approach to Ieconomic Problems, (USA: Nur, 1989) h. 199-201

[8] Ibid, Muhaimin Iqbal. h. 30

[9] Adirwarman A Karim, Ekonomi Islam; Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta; Gema Insani press, 2002). h. 58.

[10] Ibid, Adirwarman A Karim. h. 60

[11] Ibid, Baghir al Hasani dan Abbas Mirakhor. h. 201-202

[12] Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi'i Antonio, Apa Dan Bagaimana Bank Islam, (Jogjakarta: Dana Bakti Wakaf, 1992) h. 58. Bandingkan Adiwarman A Karim, Kajian Kontemporer, loc.cit., h. 146-148

[13] Alia, “Dinar Aman, Menguntungkan, Bebas Riba”, (Jakarta: Majalah Alia, Januari 2004), h. 61

[14] Ibid, Alia. h. 63

[15] Ahamed Kameel Mydin Meera, Theft of Nations Returning to Gold, ( Malaysia; Pelanduk Publications, 2004). hal. 72

[16] Jack Weatherford, Sejarah Uang, ( Yogyakarta; Bentang Pustaka. 2005), h. 16

[17] Glyn Davies, History of Money from Ancient Times to the Present Day.2006

[18] Alan Grenspan, Gold and Economic Freedom. 1966. http://www.gold-eagle.com/greenspan041998.html

[19] Ibid, Ahamed Kameel, h.72

[20] Alan Taylor. Global Finance: Past and Present. Finance and Development, IMF. 2004

[21] Murray N. Rothbard, What has Government do with our money ?1990

[22] M. Luthfi hamidi, Gold Dinar; Sistem moneter yang stabil dan berkeadilan, (Jakarta; Senayan abadi publishing, 2007). h. 136

[23] Ibid, M. Luthfi hamidi. h. 137

[24] ] www.the-privateer.com/1933-gold-confiscation.html.

[25]http://hafidz341.net76.net/Ekonomi/Dinar-Dan-Dirham-VS-Fiat-Money-Bahaya-Mata-Uang-Kertas-Fiat-Money-1.html

[26] Hammes and Wills. Black Gold: The End of Bretton Woods and the Oil-Price Shocks of the 1970s, The Independent Review, v. IX, 2005

[27] Taqiyuddin, An-Nabhany. An Nidzamu al-Iqtishady fi Islam, ( Jakarta; Dârul Ummah, 1999). h. 271 .

[28] Davies, Glyn. A History of money from ancient times to the present day, 2005

[29] http://hizbut-tahrir.or.id/2008/12/20/dinar-dan-dirham-vs-mata-uang-kertas-ii-emas-dan-perak-mata-uang-hakiki/

[30] Ibid, Ahamed Kameel Mydin Meera. h. 37

[31] lihat lebih lanjut Robert Mundell, Currency Areas, Exchange Rate Systems and International Monetary Reform, 2007

[32] Bureau of Economic Analysis, www.bea.gov

[33] Robert Blumen, The Dollar Crisis, http://mises.org/story/1386

[34]http://www.washingtonpost.com Robert J. Samuelson, Is the Global Economy Unstable? /wp- dyn/articles/A38568-2005Mar15.html ;

[35] Umar Ibrahim Vadilo, The return of of the gold dinar, (Cape town; Madinah Press, 1996). h. 52

[36] Joseph Stiglizt, Globalization and Its Discontent, (London: The peguins press), h. 199

[37] Ibid, Joseph Stiglizt, hal 199.

[38] Harian Investor Daily, 8/10/08.

[39] Ibid, http://hizbut-tahrir.or.id/2008/12/20/.

[40] Hans F. Sennholz, No Shortage of Gold. The Freeman Vol. 23 No. 9. September 1973

[41] Adnan Khan. The Global Credit Crunch dan The Crisis of Capitalism, hal 25

[42]Ibid, http://hizbut-tahrir.or.id/2008/12/20.

[43] Ibid, M. Luthfi hamidi. h. 179

[44] Ibid, h. 180

[45] Ibid, h. 180

[46] Ibid, h. 157

[47] Ibid, h. 158

[48] Ibid, h. 159

0 komentar:

Posting Komentar